Jumat malam, sekitar pukul 20.30 rombongan dari Surabaya tiba, mereka Afri, Dian, Muti, Andi, Samid dan Suryanto. Tugas saya dan Koko adalah untuk menjemput dan mengamankan mereka.
Sabtu Pagi, Pukul 05.30. Mobil yang akan mengantar kami sudah datang. Bergegas saya juga teman yang lain bersiap-siap. Di luar, sebuah minibus ukuran ¾ berwarna merah sudah menunggu, dengan Pak Muchtar sebagai supirnya. Pukul 06.30, kami berangkat. Mobil bergerak cepat menyusuri jalanan Kota Mataram yang saat itu masih sepi, terus kearah Utara menjauhi pusat
Di tengah perjalanan, kami singgah di Desa Paok Motong untuk sarapan. Ya, memang perut ini sudah terus menggurutu dari tadi, karena belum terisi sedari pagi dan mungkin juga dia tahu kalau sebentar lagi akan dibawa berjalan jauh. Bekal makan siang juga kami beli di sini. Sesudah makan, perjalanan kami lanjutkan. Mobil terus melaju.
Pukul 09.45, tiba di Pintu Sembalun. Matahari sudah lumayan tinggi. Setelah menurunkan barang-barang, saya dan beberapa teman masuk ke dalam pos untuk mendaftar, sementara Koko dan Samid mencari porter. Di dalam pos terdapat miniatur Gunung Rinjani dan gambar-gambar lain yang berisi informasi tentang Rinjani. Sayang saat kami mendaki, ada larangan untuk mendekati Gunung Baru karena akhir-akhir ini sedang menunjukkan gejala aktif.
Selesai mendaftar, saya bergabung kembali dengan teman-teman di luar untuk bersiap-siap. Pak Yun dan Pak Ung, kedua orang porter kami, akan membantu kami dalam pendakian ini. Persiapan selesai, kami membentuk sebuah lingkaran kecil untuk berdoa, agar dalam pendakian ini diberikan keselamatan, kemampuan dan kesempatan agar kami semua bisa mencapai puncak. Amin.
Pukul 11.30 perjalanan dimulai. Jalan lurus terbentang, di kejauhan tampak sang Dewi Anjani terselubung dibalik selendang hijaunya dan cadarnya yang berwarna putih, anggun. Jalanan aspal telah habis, berganti jalanan tanah kering. Tiap langkah yang dipijakkan menerbangkan debu ke udara. Tak berselang lama, hamparan bunga kuning melebihi tinggi kepala menyambut. Hiburan awal dari sekian yang akan menyusul berikutnya. Ternyata rimba kemuning ini cukup luas juga.
Semarak warna kuning bunga telah berlalu, digantikan hamparan ilalang dengan jalan yang mulai menanjak.
“Yak! Perjuangan dimulai”.
Pada awalnya tanjakan demi tanjakan kami lalui dengan mudah. Tapi kelamaan langkah mulai berat, keringat mengalir, nafas terengah. Kami istirahat sejenak. Masing-masing meneguk air dari botolnya, sedikit pelepas dahaga. Setelah merasa cukup, perjalanan kami lanjutkan, Pak Yun dan Pak Ung sudah jauh di depan, perbedaan stamina.
Bukit dan jurang yang melintang membuat kami harus mencari jalan memutar yang membuat perjalanan menjadi lebih jauh dan melelahkan. Bila melihat kebelakang rasanya sudah cukup jauh saya berjalan, namun Pos 1 belum juga kami capai. Kami beristirahat sejenak di dekat aliran sungai yang mengering, menyisahkan pasir dan bebatuan besar di dasarnya. Nampak oleh saya puing-puing jembatan yang sudah runtuh, katanya jembatan tersebut ambruk saat banjir melanda beberapa waktu yang lalu.
Lewat tengah hari Pos 1 belum juga tampak, rombongan sudah nampak kelelahan. Sampai di suatu bukit, orang terdepan dari rombongan menyeru, “Pos 1!” . Mendengarnya, saya sedikit memercepat langkah. Dan benar saja, di balik bukit bisa saya lihat bangunan empat pilar dengan atap seng, Pos 1.
Kami sampai di Pos 1 Sekitar pukul 2. Perjalanan dari Pintu Sembalun-Pos 1 sangat panjang dan melelahkan, belakangan saya ketahui bahwa itu merupakan yang terjauh dibandingkan dengan jarak Pos 1 -Pos 2 atau Pos 2-Pos 3. Di Pos 1 kami makan siang dengan bekal nasi bungkus yang kami beli tadi pagi. Rasa lelah membuyarkan selera makan saya, tapi tidak ada pilihan lain saya harus makan untuk mengisi tenaga mengingat perjalanan masih panjang menuju Pos 3. Memang rencananya hari pertama kami akan bermalam di Pos 3. Di Pos 1 kami juga perlu mengisi kembali air minum, karena persediaan air sudah menipis.
Setelah cukup beristirahat, kami bersiap untuk kembali meneruskan perjalanan. Tidak bisa berlama-lama istirahat karena matahari sudah mulai condong ke Barat. Perjalanan diteruskan, menenembus lautan ilalang setinggi pinggang.
Saya diberi tahu bahwa setelah Pos 2 akan ada dua jalur, yaitu jalur penyesalan dan jalur penyiksaan. Namun yang disebut terakhir sudah tidak digunakan lagi karena
Pukul 3.40 Pos 2 sudah kami capai. Pos 2 berada di samping aliran sungai yang saat itu sedang mengering, tapi sedikit air masih tampak. Di sini kami sholat dan beristirahat sejenak. Setelah melaksanakan sholat dan istirahat sejenak kami kembali berangkat. Hari yang sudah semakin sore membuat kami harus sedikit bergegas, karena kami menghindari perjalanan pada malam hari. Beberapa dari kami masih membutuhkan istirahat beberapa saat lagi, maka di sini rombongan dipecah menjadi dua. Kelompok pertama berangkat lebih dahulu untuk menyiapkan tenda di Pos 3, sementara kelompok kedua beristirahat. Saya ikut kelompok pertama karena barang bawaan saya tidak terlalu berat sehingga masih memiliki cukup tenaga.
Puncak Rinjani yang sedari tadi terselubung awan sudah mulai terlihat.
Sekitar waktu maghrib saya sampai di Pos 3. Seperti pos 2, Pos 3 juga berada di samping aliran sungai yang sedang mengering. Saya sempat sedikit kecewa melihat tinggalan tangan-tangan jahil berupa coretan-coretan yang ada di batu-batu kali. Terduduk menghadap ke arah Barat, semburat jingga horizon menemani merasakan lelah di badan. Tidak bisa berlama-lama, kami harus bergegas mendirikan tenda dan membuat api sebelum gelap turun dan udara dingin menyergap. Tidak lama, kelompok kedua tiba. Api unggun telah menyala, tenda pun telah berdiri, tiga buah.
Malam tiba, dingin semakin terasa, jaket dan minuman panas menjadi obat yang ampuh guna menghangatkan badan. Kami kumpul di dekat api unggun, ngobrol perjalanan hari pertama sambil memperhatikan duet koki Afri dan Suryanto menyiapkan makan malam. Mie instant campur telur dan sosis adalah menunya. Yang praktis-praktis aja.
Selesai makan malam, saya masih berada di sekitaran api unggun. Menikmati susu coklelat panas sambil mendengarkan cerita-cerita Pak Yun dan pak Ung tentang pengalaman mereka mengantarkan para pendaki. Setelah merasa ngantuk, saya masuk ke tenda, menggelar kantong tidur, menyelinap ke dalamnya, dan dalam sekejap saya sudah tertidur.
1 komentar:
ternyata temen gw yang satu ini puitis sekali..
dengan bahasa langit dia menceritakan pengalamannya di Bumi Rinjani
he he he
ditunggu postingan berikutnya
Posting Komentar