Sabtu, 06 September 2008

Rinjani Expedition-Part 2

Hari kedua

Pagi hari, terbangun saat matahari sudah terbit , sedikit sinarnya menembus masuk ke dalam tenda. Ternyata saya bukan yang pertama bangun, di luar sudah ada Dian dan Pak Ung duduk di sekitaran bekas api unggun tadi malam, ngobrol. Udaranya segar sekali, saya memutuskan untuk jalan-jalan sejenak.

Hari ini kami akan menempuh perjalanan menuju plawangan sembalun, tempat camp terakhir sebelum puncak. Saya memerlukan mendongakkan kepala untuk melihat jalur yang akan kami tempuh hari ini. Jalan terjal mendaki dengan alang-alang yang menutupi. Jarak yang akan kami tempuh dari Pos 3 sampai Plawangan Sembalun memang lebih dekat bila dibandingkan hari pertama, tapi medannya akan lebih berat, bukit-berbukit. Mungkin karna itu dinamai bukit penyesalan, ada tujuh jumlahnya.

Kembali ke kemah, semua sudah bangun. Kebetulan ada yang lagi masak air panas, lumayan lah buat bikin minuman hangat. Teman-teman yang lain sedang menyiapkan sarapan. Menu andalan, mie instant. Setelah sarapan, saatnya beres-beres. Tenda dibongkar, barang bawaan disusun kembali.

Pukul 9.00 kami mulai bergerak. Benar saja, jalur hari ini memang berat. Baru-baru mulai, saya sudah harus memanjat dinding yang lumayan terjal. Saya melangkah perlahan guna menghemat tenaga. Beberapa kali saya berhenti sejenak mengatur nafas. Bernafas cepat akan membuat jantung berdetak kencang yang pada akhirnya akan membuat lebih cepat merasa lelah.

Jalanan terus menanjak, tanpa henti. Wuih.....

Saya berada di barisan paling belakang. Tak terlalu jauh tertinggal. Saya sempat mendahului Pak Yun dan Pak Ung ketika mereka beristirahat, sebelum mereka memabalap saya lagi. Ampun...

Memasuki area hutan, kabut sudah mulai turun. Jarak pandang memendek. Bukit-bukit seberang sudah tidak lagi tampak. Entah sudah berapa bukit yang sudah terlampaui, dan berapa banyak lagi yang masih menanti untuk dilalui. Saya terus berjalan, sambil tetap mencari-cari tanda-tanda kami sudah dekat dengan Plawangan Sembalun. Sekeliling yang terlihat hanya putih.

Kabut sempat hilang sejenak, sebelum akhinya datang lagi. Di saat yang hanya sebentar itu, sekelebat pantulan cahaya dari atas bukit. Tidak salah lagi itu berasal dari plat penanada Plawangan Sembalun. Walaupun masih lumayan jauh, tapi paling tidak sudah kelihatan lah. Setelahnya, perjalanan menjadi lebih santai. Saya lebih sering break sambil menunggu kabut hilang. Karena katanya dari atas sana, bila cuaca cerah tanpa kabut, bisa terlihat Danau Segara Anakan. Seketika rasa lelah yang hinggap di badan pun sirna.

Momen yang ditunggu tak kunjung tiba, kabut masih setia menyelimuti perjalanan kami. Perjalanan pun dilanjutkan. Sesekali saya teriak memanggil teman yang lain. “Udah deket. Ayo, sedikit lagi!”

Akhirnya, sampai di Plawangan Sembalun. Danau masih belum terlihat, tertutup kabut tebal. Dari sini masih harus berjalan sedikit lagi menuju tempat kemah. Tapi saya tidak langsung meneruskan perjalanan, masih butuh istirahat. Sesampainya di lokasi kemah, ketiga tenda telah berdiri berjajar. Tampak juga beberapa tenda rombongan lain. memang benar sepertinya sedang musim pendakian. Kabut masih menyelimuti dengan tebalnya. Saya belum bisa melihat Danau Segara Anakan di bawah sana, yang tampak hanyalah Puncak Sangkareang yang menyembul di atas awan.

Beberapa teman mau pergi untuk ambil air di mata air yang letaknya tidak terlalu jauh, saya ikut juga. Beberapa lereng kecil harus ditempuh sebelum akhirnya sampai di mata air yang berupa dinding batu dengan air yang mengalir di sela-selanya. Wow! Dingin dan segar ketika air menerpa muka. Karena kurang hati-hati, saya kena tumbuhan berduri, sakit dan panas rasanya meninggalkan bentol-bentol di kulit.

Sekembalinya ke kemah, kabut sudah hilang. Pemandangan yang telah dinanti-nanti pun datang. Danau Segara Anakan, indah. Lembah-lembah berlekuk-lekuk di bawah sana. Sekumpulan monyet ,yang sedari tadi tidak kelihatan, muncul satu-satu. Bergerak takut-takut, mengampiri, mengambil makanan yang dilemparkan orang. Kami duduk-duduk di pinggiran tebing, berkumpul menikmati senja. Semakin sore semakin banyak rombongan pendaki yang datang. Lama-kelamaan tampat ini menjadi semakin penuh.

Malam telah datang membawa serta udara dingin yang lebih dingin dari yang kemarin. Api unggun tidak dapat kami nyalakan karena kayu yang tadi didapat masih basah. Makan malam disajikan lebih awal. Malam ini kami perlu tidur lebih awal, karena besok rencananya pagi-pagi sekali sudah harus berangkat. Rencananya pukul 02.00 pagi kami sudah mulai jalan. Setelah makan malam masing-masing masuk ke tenda bersiap-siap untuk tidur, begitu juga saya.

Hari Ketiga

Terbangun karena alarm jam tangan berbnunyi, menunjukkan pukul 02.00. Karena tertidur dengan pakaian lengkap memudahkan saya dalam bersiap-siap, hanya tinggal pakai sepatu. Rombongan sudah terbangun dan masing-masing tengah bersiap-siap juga. Rencananya Pak Yun akan menemani kami ke puncak sementara Pak Ung menunggu di kemah. Sebelum berangkat, kami membentuk lingkaran kecil, berdoa kepada Sang Khalik, maminta diberikan kekuatan dan keselamatan agar kami semua bisa mencapai puncak.

Pukul 02.30 kami berangkat. Berbekal cahaya lampu senter, kami menyusuri jalanan. Sepertinya kami rombongan kedua yang berangkat pagi ini. Berjalan dalam gelap menambah sulit perjalanan. Kami harus extra hati-hati. Rintangan pertama yang harus dihadapi ialah mendaki dinding bukit yang terjal. Saya memerlukan berpegangan pada akar-akar atau rerumputan guna mencegah tergelincir dikarenakan jalan yang berpasir.

Tak beberapa lama berjalan, nafas sudah mulai terengah-engah. Udara yang tipis bercampur debu mempersulit saya dalam bernafas. Agak sulit untuk beristirahat di sini dikarenakan jalanan yang sempit dan terjal. Hanya sesekai berhenti untuk mengatur nafas. Di bawah sana terlihat kerlip cahaya senter para pendaki lainnya.

Rintangan pertama telah dilalui. Berada di tanah datar, kami bisa beristirahat sejenak, meluruskan kaki. Tidak bisa berlama-lama karena perjalanan masih panjang. Saya berharap bisa sampai di puncak sebelum matahari terbit.

Medan mendaki telah dilalui, sekarang yang ada jalanan sempit dengan tanjakan-tanjakan landai dan sedikit turunan. Nafas semakin lama semakin berat. Saya memerlukan membuka masker untuk bernafas lebih leluasa. Saya mencoba mengatur nafas perlahan, melalui mulut yang membuat kerongkongan ini terasa kering. Jalanan menanjak masih jauh membentang. Pandangan senantiasa terarah ke bawah mencari jalan, sesekali melihat ke atas menatap tujuan, puncak Rinjani.

Jalan yang tadinya sempit semakin menyempit. Menandakan kami sudah dekat dengan rintangan terakhir, medan kerikil. ¼ jalan terakhir menuju puncak adalah medan kerikil yang terus membentang sampai ke puncak. Katanya ini merupakan bagian yang terberat.

Gelap telah sedikit terangkat ketika saya memasuki daerah lautan kerikil. Perlahan dan hati-hati saya berjalan. Setiap sekali melangkah, terperosok setengahnya. Berat dan melelahkan. Rasa lelah yang hinggap ditubuh merupakan akumulasi dari kelelahan hari-hari sebelumnya ditambah perjalanan hari ini yang sudah berat dari awalnya. Saat tenaga sudah habis, yang tersisa hanya semangat dan tekad yang bulat untuk mencapai puncak. Terus melangkah atau kalah.

Berjalan perlahan, sejenak istirahat, lalu berjalan kembali.

Keinginan untuk sampai di puncak sebelum matahari terbit sirna sudah, pukul 5.50 saya masih belum mencapai puncak.

Matahari sudah lumayan tinggi ketika kerikil terakhir terlepas dari bawah sepatu saya, menandakan saya telah berada di area puncak Rinjani. Yang diperlukan sekarang hanya berjalan sedikit lagi menuju titik 3726 dpl. Akhirnya, pada pukul 07.30 saya sampai di puncak Rinjani. Rasa syukur, bahagia, puas bercampur menjadi satu. Dari rombongan kami yang pertama tiba pukul 06.00 dan yang terakhir pukul 08.00.

Dari atas, saya mendapatkan pemandangan yang luar biasa indah. Saya bisa melihat puncak Tambora dan Puncak gunung Agung. Di sebelah Barat saya berdiri terdapat kawah lama sementara Danau Segara Anakan di sebelah Timur.

Teryata di puncak juga ada monyet.

Kami tidak bisa berlama-lama di atas sini. harus bergegas turun karena kabut sudah mulai datang. Pukul 08.30 kami beranjak dari puncak.

Perjalanan turun merupakan satu hal yang berbeda dari perjalanan muncak. Lebih cepat namun tidak lebih mudah. Kaki yang lelah harus menahan beban. Perjalanan terasa lebih ringan karena kami semua berhasil sampai puncak. Setelah berkali-berkali terpeleset dan sekali terpelanting sampailah saya di kemah, pukul 10.30.

Wuih... beristirahat, melepaskan lelah sambil menunggu makanan siap disajikan. Nikmat rasanya.

Pak Yun memberitahu kami kalau dia akan digantikan oleh temannya, namanya mas Mus, karena pak Yun mau ada keperluan.

Pukul 2 siang kami meninggalkan lokasi kemah menuju danau. Kabut kembali hadir, membuat kami tidak bisa menikmati pemandangan. Perjalanan turun dari Plawangan Sembalun menuju danau melewati lereng bebatuan yang berkelok-kelok. Jalurnya lumayan sempit.

Perjalanan ini saya kira tidak akan memakan waktu lama, ternyata perkiraan saya salah. Perjalanan terasa sangat lama. Bila melihat ke atas, tenyata kami sudah berjalan jauh juga. Tapi danau yang dituju belum juga tampak.

Tebing bebatuan telah kami lewati, sekarang kami akan melalui bukit-bukit landai, sambil terus berharap kalau di balik salah satu bukit akan kami dapati danau.

Sudah sekian punggung bukit dilalui, danau masih juga belum nampak. Kami istirahat sejenak, muncul ide dari seorang teman. Satu-satu dari kami akan berjalan sendiri dengan interval waktu sekitar 3 menit baru orang selanjutnya mulai jalan. Hmm, boleh juga idenya.

Oke, idenya diterima. Satu persatu kami mulai jalan lagi. Saya giliran ketiga. Berjalan sendiri di tengah selimut kabut putih di alam luas. Saya lihat ke depan tidak ada orang, lihat ke belakang tidak ada orang. Sunyi dan sepi, hanya suara alam. Damai serasa suasana.

Saya bertemu Andi dan Samid yang tengah beristirahat, saya juga ikut istirahat. Kami istirahat cukup lama tapi tidak juga bertemu orang yang berjalan di belakang saya. Perjalanan kami lanjutkan.

Di kejauhan saya melihat bayangan air, saat diperhatikan lagi ternyaata benar memang danau.

“Sampe danau!”, saya berkata kepada Samid dan Andi yang ada di belakang saya.

Kami segera bergegas menuju tempat tujuan kami tersebut. Akhirnya sekitar pukul 5 sore kami tiba di danau. Kami memilih tempat di tepi danau untuk mendirikan kemah. Pemandangannya indah dari bawah sini, danau yang luas dan juga Gunung Baru yang untuk saat ini tidak kami daki. Tidak berselang lama, rombongan kami yang lain tiba.

Sampai di danau berarti saatnya bersenang-senang. Memancing ikan, mandi air panas, atau berjalan di sekitaran danau merupakan beberapa pilihan. Namun saat ini kami memilih mandi air panas. Ya, di Danau Segara Anakan memang ada kolam air panas. Berendam di air panas bisa menghilangkan rasa lelah yang menghinggapi tubuh sekaligus bersih-bersih badan yang sudah beberapa hari tidak mandi.

Kolam air panas terletak tidak terlalu jauh dari tempat kami berkemah, hanya perlu berjalan sebentar dan menyebrangi sungai, sampailah kami di kolam air panas. Hmm, agak ramai rupanya. Sumber air panas keluar dari celah-celah bebatuan yang kemudian dialirkan oleh pipa ke kolam-kolam, kata orang sih kolam-kolam ini baru dibangun belum lama, sebelumnya hanya ada satu kolam.

Terlena kenyamanan berendam air panas, tidak sadar kalau hari sudah mulai gelap. Kami harus segera kembali ke kemah.

Kembali ke kemah, bandan terasa segar dan bersih tentunya. Kami mulai menyiapkan makan malam. Untuk malam ini menu ikan bakar belum tersaji, karena memang rencananya kami akan mulai mancing besok.

Tidak ada komentar:

ragunan ber-8

ragunan ber-8
Nyonye g ikut..mo pacaran ma Tegil katanya

pronto

pronto
maen balon yux...

anyer 29 Maret 2008

anyer 29 Maret 2008
the unforgettable moment..